Daratan
ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat
kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di
atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah
memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita,
menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan ultraviolet
menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa
kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran
api. Dan di sini, di sudut dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung,
terperangkap, mati kutu.
Aku
gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang
dihantam beruntun seorang petinju. Berjingkat- jingkat di balik tumpukan peti
es, kedua kakiku tak teguh, gemetar. Bau ikan busuk yang merebak dari peti-peti
amis, di ruangan yang asing ini, sirna dikalahkan rasa takut.
Jimbron
yang tambun dan invalid—kakinya panjang sebelah—terengah-engah di belakangku.
Wajahnya
pias.
Dahinya yang kukuh basah oleh keringat, berkilatkilat. Di sampingnya, Arai,
biang keladi seluruh kejadian ini, lebih menyedihkan. Sudah dua kali ia muntah.
La lebih menyedihkan dari si invalid itu. Dalam situasi apa pun, Arai selalu
menyedihkan. Kami bertiga baru saja berlari semburat, pontang-panting lupa diri
karena dikejar- kejar seorang tokoh paling antagonis. Samar-samar, lalu semakin
jelas, suara langkah sepatu terhunjam geram di atas jalan setapak yang ditaburi
kerang-kerang halus.
Kami
mengendap. Tersengal Arai memberi saran. Seperti biasa, pasti saran yang
menjengkelkan. "Ikal....
Aku
tak kuat lagihhh.... Habis sudah napasku.... Kalian lihat para-para
itu...?" Aku menoleh cepat. Dua puluh meter di depan sana teronggok reyot
pabrik cincau dan para-para jemuran daun cincau. Cokelat dan doyong. Di
berandanya, dahan-dahan bantan merunduk kuyu menekuri nasib anak-anak nelayan
yang terpaksa bekerja. Salah satunya aku kenal: Laksmi. Seperti laut, mereka
diam. Dangdut India dari kaset yang terlalu sering diputar meliuk- liuk pilu
dari pabrik itu.
Download
untuk Membaca seluruhnya
0 komentar:
Posting Komentar