65. Abû Bakar bin Thâhir Sûfi adalah
orang yang tidak cinta dengan jin dan manusia dibangding Allâh (lebih mencintai
Allâh), karena barang siapa yang cinta tanpa melibatkan Allâh maka dia tidak
beruntung.
66. al-Zaqâq, Sûfi adalah orang yang
menjadikan pekerjaannya mengikuti kehendak orang lain (tidak mengecewakan).
67. Abû Ya‟qub al-Muzâbili, Tashawwuf adalah
melenyapkan keadaan jiwa dalam sisi kemanusiaan (keadaan hati tidak ditunjukkan
kepada manusia).
68. Hasnûn al-Dainûri, Tashawwuf adalah
menjaga dzat yang disembah, meniggalkan sesuatu yang tidak ada, dan mengambil
sesuatu dari yang ada.
69. Abû Bakar al-Zâhdâbâdî, Tashawwuf adalah
a. Meniggalkan rasa aman dari ajakan nafsu
b. Tidak hidup kecuali dengan dzat yang wajib
wujudnya di dunia dan akhirat.
70. Abû Muhammad al-Zanjâni, Tashawwuf adalah
mengeluarkan kesibukan dunia dari dalam hati.
71. Abû Bakar al-Halanji Tashawwuf adalah
jernih, yang berarti orang yang mendatangi panggilan hakikat, yaitu tidak
berbohong.
72. Abû Hasan al-Sirwâni al-Kabîr, Sûfi adalah
orang yang selalu bersama dengan al-Waridad (sesuatu pengetahuan ghaib
yang datang ke dalam hati tanpa disengaja) bukan bersama wirid.
73. Ja‟far bin Muhammad bin Nashîr al-Khalidi,
Tashawwuf adalah menenggelamkan diri dalam ibadah, keluar dari (kebiasaan)
manusia, dan melihat kepada Allâh secara menyeluruh.
74. Abû al-Hasan al-Bûsyanji, Tashawwuf adalah
meringkas harapan, melanggengkan amal (ibadah), memperbanyak takut (kepada
Allâh), dan menyedikitkan malas (beribadah kepada Allâh).
75. Abû Bakar al-Daqi, Sûfi adalah;
a. Bangun tidur langsung berdzikir atau
tafakkur sampai tertidur
b. Berhakikat dengan sungguh-sungguh bersama
Allâh.
76. Abû „Abdillah Ahmad bin „Athâ‟
al-Rûdzabâri, Sûfi adalah orang yang merasa nikmat dengan cobaan karena
dia tidak memandang terhadap cobaan itu, tetapi cara pandangnya kepada dzat
yang telah menentukan cobaan tersebut, Allâh telah menentukan cobaan itu
kepadanya sehingga dia merasakan kenikmatan terhadap sesuatu yang telah
ditentukan oleh Allâh. Pandangan tersebut berlandaskan karena cinta kepada
Allâh sehingga antara cobaan dan nikmat terasa sama.
77. Umar bin Najîd, Sûfi adalah orang
yang bersabar terhadap perintah dan larangan.
Akhlak dan Tashawwuf | 97
78. Abû Abdillah bin Khafîf, Tashawwuf adalah;
a. Sabar atas berlakunya ketetapan Allâh dan
mengambil sikap seperti sikapnya orang-orang pilihan, tidak mengambil amal yang
ringan (rukhshah) karena takut dan lari dari api neraka
b. Menghilangkan perilaku watak kemanusiaan,
meletakkan sifat-sifat ruhaniah, (semua perilaku) berhubungan dengan ilmu
hakikat, melakukan amal yang utama karena kehidupan akhirat yang abadi, memberi
nasihat kepada seluruh umat, patuh kepada Allâh Swt. secara hakiki, mengikuti
syari‟at Rasulullah Saw.
c. Tidak lupa, tidak melirik, tidak berpisah
dari Allâh Swt., berbakti kepada orang tua, meninggalkan tuntutan nafsu dan
merasakan rasa yang sama ketika dipuji dan dicela
Abû Abdillah bin Khafîf juga berpendapat,
bahwa Sûfi adalah orang yang memperhatikan Allâh dengan sesuatu keadaan
jiwa yang wajib dijaganya.
79. Abû Sahal Tashawwuf adalah
berpaling dari pertentangan.
80. Abû Qâsim al-Nashrâbadi tasawuf adalah
cahaya dari Allâh yang Haq yang menunjukkan jalan kepada-Nya, dan getaran dari
jiwa (khatir) yang berasal dari Allâh yang memberi tanda isyarat menuju
kepada Allâh.
81. Husain al-Hamîri, Sûfi adalah;
a. Orang yang tidak gelisah dalam
kegelisahannya dan orang yang tetap dalam (maqam) ketetapannya
b. Keberadaan Sûfi ada dalam al-Wujdu
(sesuatu pengetahuan ghaib yang datang ke dalam hati tanpa disengaja) dan
sifatnya dalah hijab (penghalang)
c. Orang yang tidak bisa angkat oleh bumi dan
langit tidak bisa menaunginya (menurut hadits qudsi bahwa langit dan bumi tidak
bisa memuat Allâh, yang bisa memuat Allâh hanya hati hamba Allâh)
لاَيَسَعَنِيْ اَرْضِيْ وَلاَ سَمَائِيْ
وَلَكِنْ يَسَعَنِيْ قَلْبُ عَبْدِ التَّقِى (فيض القدر , ج 2 حديث 4969 )
Dunia adalah alam jasmani sementara hati
adalah alam ruhani. Alam jasmani tidak bisa memuat alam ruhani sehingga
dikatakan bumi tidak mampu mengangkat dan langit tidak bisa menaungi orang
Sûfi.
d. Lebih mulia dibanding ungkapan bahasa akan
tetapi barangsiapa yang menyicipinya maka dia menemukan rasanya.
82. Abû Qasim Al-Râzî, Tashawwuf adalah;
a. Keadaan jiwa yang tegak bersama dengan
Allâh al-Haq
98 | Akhlak dan Tashawwuf
b. Tashawwuf dapat membuahkan
tawaddhu„, meninggalkan memandang selain Allâh dan meninggalkan merasa bahagia
dengan kefakiran (merasa lebih utama dari orang lain), melihat keutamaan
orang-orang fakir, berubat kebaikan kepada seluruh makhluk baik mukmin dan
kafir selama tidak merobohkan syari‟at dan masuk pada kemakruhan.
83. Abû Bakar al-Husaini al-Mukri, Tashawwuf
adalah menjaga beberapa rahasia dan menjauhi hal-hal yang jelek.
84. Manshûr bin Muhammad al-Sajzî, Tashawwuf
itu menyedikitkan makan, tidur, merendahkan nafsu, berusaha sekuat tenaga
melaksanakan taat dan meninggalkan maksiat.
85. Husain bin al-Mutsannâ Tashawwuf adalah
membersihkan hati dari segala getaran hati yang rusak, dan jiwa bisa merasakan
adanya al-Washlu (diterima oleh Allâh).
86. Ruwaim al-Junaid, ketika ditanya apa itu Tashawwuf
dan hakikatnya. Beliau menjawab, Tashawwuf adalah ambillah lahirnya
jangan engkau bertanya tentang hakikinya sehigga engkau bisa tenggelam di
dalamnya. Lalu Imam Ruwaim berkata, Sûfi adalah orang yang melaksanakan
taat kepada Allâh tanpa ada yang mengetahuinya kecuali Allâh.
87. Basyar, Sûfi adalah orang yang
dikhususkan oleh Allâh.
88. Abû Qâsim, Sûfi adalah orang yang
bertambah ilmunya maka berkurang watak dasar kemanusiaannya, (Tahdzîb al-Asrâr
fî Ushûl al-Tashawwuf, halaman: 11-22).
Selanjutnya, Sayyidina „Usmân bin „Affan
berkata; Tashawwuf adalah mencari washîlah menuju keutamaan,
(Hilyat al-Auliya‟ wa Thabaqât al-Ashfiya‟, juz 1 halaman: 100). Keterangan
lain menyebutkan bahwa Tashawwuf adalah berakhlak dengan akhlak
ketuhanan, (Mu‟jam al-Kalimât as-Shûfiyah, halaman: 22).
Berikut ini penjelasan beberapa „Ulama‟
tentang Tashawwuf yang terdapat di dalam kitab Hilyah;
1. Abû Yazîd al-Rabi„ bin Khutsaim berkata
sesungguhnya Tashawwuf ialah memuliakan hati dan tidak menghiraukan
unsur lahir/zhahir, (Hilyat al-Auliya‟ wa Thabaqât al-Ashfiya‟, juz 2, halaman:
5).
2. „Urwah bin Zubair, Tashawwuf adalah
menampakkan anugerah dan menyimpan cobaan, (Hilyat al-Auliya‟ wa Thabaqât
al-Ashfiya‟, juz 2, halaman: 70).
3. Sâlim bin Abdullah, Tashawwuf adalah
menetapi khudhu„ (sifat tunduk) dan qunu„ (sifat rendah diri)
serta tidak berkeluh kesah, (Hilyat al-Auliya‟ wa Thabaqât al-Ashfiya‟, juz 2,
halaman: 70).
4. Abû al-„Aliyyah, Tashawwuf ialah
ridha dengan bagian yang diterima dan dermawan dengan kenikmatan, (Hilyat
al-Auliya‟ wa Thabaqât al-Ashfiya‟, juz 2, halaman: 112).
5. Muhammad bin Wâsi„,sesungguhnya Tashawwuf
ialah khusyû„ (tunduk), khumûl (menyembunyikan amal
yang baik dan menampakkan amal yang buruk), qunu„ (sifat rendah diri),
dan dzubûl (sifat layu), (Hilyat al-Auliya‟ wa Thabaqât al-Ashfiya‟, juz
2, halaman: 238).
Menurut Imam Qusyairi terdapat ciri-ciri
kepribadian dan perilaku orang Sûfi;
عَلاَمَةُ الصُّوْفِى اَلصَّادِقِ
: اَنْ يَفْتَقِرَ بَعْدَ الْغِنٰى, وَيَذِلَّ بَعْدَ الْعِزِّ, وَيَخْفَى بَعْدَ
الشُهْرَةِ , وَعَلاَمَةُ الصُّوْفِي اَلْكَاذِبِ : اَنْ يَسْتَغْنِيَ بِاالدُّنْيَا
بَعْدَ الْفَقْرِ, وَيَعِزَ بَعْدَ الذِّلِّ, وَيَشْتَهِرَ بَعْدَ الْخُلَفَاءِ (
الرسلة القشيرية : ص 127 – 126 )
Berikut ciri-cirinya yang terbagi menjadi dua;
- Seorang Sûfi Shâdiq: merasa miskin
setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemuliaan, dan
menyamarkan dirinya setelah terkenal
- Seorang Sûfi Kâdzib: merasa kaya akan
harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal yang mana
sebelumnya dia tidak masyhur, (ar-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 126-127).
Sementara itu, maqâm orang Sûfi ada
tiga, diantaranya;
1. Maqâm Islâm, kesempurnaan taqwâ dan
istiqâmah
2. Maqâm Imân, kesempurnaan thuma„nînah
dan yaqîn
3. Maqâm Ihsân, adalah tingkatan yang
tertinggi. Yaitu maqâm dimana seorang hamba dapat ber-musyâhadah (melihat
Allâh dengan mata hati) atau merasa selalu diawasi Allâh, (al-Futûhât
al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 84).
Dalam Jâmi‟ al-Ushûl fi al-Auliyâ‟ disebutkan
bahwa Sûfi adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, serta tidak dikuasai
oleh siapapun.
وَقِيْلَ : الَصُّوْفِى مَنْ
لاَ يَمْلِكُ شَيْئً وَلاَ يَمْلِكُهُ شَيْئٌ
Dikatakan bahwa seorang Sûfi adalah orang yang
tidak memiliki sesuatu, dan tidak pula dimiliki oleh apapun, (Jâmi‟ al-Ushûl fi al-Auliyâ‟, halaman: 329).
Kemuliaan dan keutamaan para Sûfi adalah
bahwa mereka bisa mencapai Haqîqat Îmân dengan mewujudkan tiang atau
rukun-rukun Îmân yang diantaranya adalah Îmân kepada Qadar, (baik
dan buruknya, manis dan pahitnya) bagi mereka adalah sama dalam arti ridha,
pasrah, kesempurnaan ma‟rifat dan murninya keyakinan baik pada waktu gembira
maupun susah, waktu dalam kehinaan maupun kejayaan, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî
Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 69).
Fudhayl bin Iyad menceritakan kisah seorang
Raja yang terkenal dengan nama Sultan Hârun al-Rasyîd yang sedang mendengarkan
nasihat seorang „Ulama‟ Sûfi yang bernama Syaikh Raja„ bin Hayat yang
mengatakan; “Wahai sultan jika anda ingin selamat dari siksa Allâh Swt. di
akhirat, maka cintailah orang-orang muslim seperti anda mencintai diri sendiri,
apa yang anda benci pada diri sendiri berlakukanlah pada diri mereka (jika
sudah bisa) lalu matilah sesukamu. Aku mengatakan ini kepada anda karena aku
sangat khawtir pada suatu hari anda terpleset dari jalan kebenaran, apakah ada
orang mengatakan hal ini pada anda sebelumnya dengan landasan belas kasihan dan
memintakan rahmat allah untuk anda?” Seketika itu, Sultan Hârun al-Rasyîd
menangis sampai tak sadarkan diri. Setelah sadar, Sultan Hârun al-Rasyîd minta
untuk dinasihati lagi. Kemudian Syaikh Raja„ bin Hayat berkata; “Wahai
pimpinan orang-orang mu‟min, sesungguhnya paman nabi yang bernama abbas datang
kepada nabi lalu bartanya tentang kepemimpinan”. Nabi Saw. bersabda;
أِنَّ الْاِمَارَةَ حَشْرَةٌ وَنَدَمَةٌ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ , فَأِنِ ا سْتَطَعْتَ أَنْ لاَ تَكُوْنَ أَمِيْرً
فَافْعَلْ
“Sesungguhnya menjadi pemimpin adalah
kesedihan dan penyesalan pada hari kiyamat, jika engkau mampu untuk tidak jadi
pemimpin maka lakukanlah”.
Mendengar nasihat ini Sultan Hârun al-Rasyîd
menangis dengan keras lalu Sultan Hârun al-Rasyîd meminta nasihat lagi, syaikh
raja‟ bin hayat berkata wahai orang yang wajahnya tampan anda akan ditanya oleh
allah tentang keadaaan ini pada hari kiyamat, jika anda mampu untuk menjaga
wajah tampan ini dari jilatan api neraka, maka hati-hatilah tiap pagi dan sore
dalam hati anda ada tipu daya kepada salah satu rakyat anda karena Nabi Saw.
bersabda;
مَنْ اَصْبَحَ لَهُمْ غَشًّا
لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
“Barang siapa pada pagi harinya memiliki tipu
daya kepada manusia, maka dia tidak akan mencium bau surga”.
Kemudian Sultan Hârun al-Rasyîd menangis,
(Hilyat al-Auliya‟ wa Thabaqât al-Ashfiya‟, juz 6 halaman: 341).
*Sabilus Salikin: Ensiklopedi
Tharîqah/Tashawwuf
0 komentar:
Posting Komentar