Home » » Sûfi dan Tashawwuf ( Lanjutan )

Sûfi dan Tashawwuf ( Lanjutan )

Written By pp ashshiddiqiyah on Selasa, 02 Desember 2014 | 21.08



65. Abû Bakar bin Thâhir Sûfi adalah orang yang tidak cinta dengan jin dan manusia dibangding Allâh (lebih mencintai Allâh), karena barang siapa yang cinta tanpa melibatkan Allâh maka dia tidak beruntung.
66. al-Zaqâq, Sûfi adalah orang yang menjadikan pekerjaannya mengikuti kehendak orang lain (tidak mengecewakan).
67. Abû Ya‟qub al-Muzâbili, Tashawwuf adalah melenyapkan keadaan jiwa dalam sisi kemanusiaan (keadaan hati tidak ditunjukkan kepada manusia).
68. Hasnûn al-Dainûri, Tashawwuf adalah menjaga dzat yang disembah, meniggalkan sesuatu yang tidak ada, dan mengambil sesuatu dari yang ada.
69. Abû Bakar al-Zâhdâbâdî, Tashawwuf adalah
a. Meniggalkan rasa aman dari ajakan nafsu
b. Tidak hidup kecuali dengan dzat yang wajib wujudnya di dunia dan akhirat.
70. Abû Muhammad al-Zanjâni, Tashawwuf adalah mengeluarkan kesibukan dunia dari dalam hati.
71. Abû Bakar al-Halanji Tashawwuf adalah jernih, yang berarti orang yang mendatangi panggilan hakikat, yaitu tidak berbohong.
72. Abû Hasan al-Sirwâni al-Kabîr, Sûfi adalah orang yang selalu bersama dengan al-Waridad (sesuatu pengetahuan ghaib yang datang ke dalam hati tanpa disengaja) bukan bersama wirid.
73. Ja‟far bin Muhammad bin Nashîr al-Khalidi, Tashawwuf adalah menenggelamkan diri dalam ibadah, keluar dari (kebiasaan) manusia, dan melihat kepada Allâh secara menyeluruh.
74. Abû al-Hasan al-Bûsyanji, Tashawwuf adalah meringkas harapan, melanggengkan amal (ibadah), memperbanyak takut (kepada Allâh), dan menyedikitkan malas (beribadah kepada Allâh).
75. Abû Bakar al-Daqi, Sûfi adalah;
a. Bangun tidur langsung berdzikir atau tafakkur sampai tertidur
b. Berhakikat dengan sungguh-sungguh bersama Allâh.
76. Abû „Abdillah Ahmad bin „Athâ‟ al-Rûdzabâri, Sûfi adalah orang yang merasa nikmat dengan cobaan karena dia tidak memandang terhadap cobaan itu, tetapi cara pandangnya kepada dzat yang telah menentukan cobaan tersebut, Allâh telah menentukan cobaan itu kepadanya sehingga dia merasakan kenikmatan terhadap sesuatu yang telah ditentukan oleh Allâh. Pandangan tersebut berlandaskan karena cinta kepada Allâh sehingga antara cobaan dan nikmat terasa sama.
77. Umar bin Najîd, Sûfi adalah orang yang bersabar terhadap perintah dan larangan.
Akhlak dan Tashawwuf | 97
78. Abû Abdillah bin Khafîf, Tashawwuf adalah;
a. Sabar atas berlakunya ketetapan Allâh dan mengambil sikap seperti sikapnya orang-orang pilihan, tidak mengambil amal yang ringan (rukhshah) karena takut dan lari dari api neraka
b. Menghilangkan perilaku watak kemanusiaan, meletakkan sifat-sifat ruhaniah, (semua perilaku) berhubungan dengan ilmu hakikat, melakukan amal yang utama karena kehidupan akhirat yang abadi, memberi nasihat kepada seluruh umat, patuh kepada Allâh Swt. secara hakiki, mengikuti syari‟at Rasulullah Saw.
c. Tidak lupa, tidak melirik, tidak berpisah dari Allâh Swt., berbakti kepada orang tua, meninggalkan tuntutan nafsu dan merasakan rasa yang sama ketika dipuji dan dicela
Abû Abdillah bin Khafîf juga berpendapat, bahwa Sûfi adalah orang yang memperhatikan Allâh dengan sesuatu keadaan jiwa yang wajib dijaganya.
79. Abû Sahal Tashawwuf adalah berpaling dari pertentangan.
80. Abû Qâsim al-Nashrâbadi tasawuf adalah cahaya dari Allâh yang Haq yang menunjukkan jalan kepada-Nya, dan getaran dari jiwa (khatir) yang berasal dari Allâh yang memberi tanda isyarat menuju kepada Allâh.
81. Husain al-Hamîri, Sûfi adalah;
a. Orang yang tidak gelisah dalam kegelisahannya dan orang yang tetap dalam (maqam) ketetapannya
b. Keberadaan Sûfi ada dalam al-Wujdu (sesuatu pengetahuan ghaib yang datang ke dalam hati tanpa disengaja) dan sifatnya dalah hijab (penghalang)
c. Orang yang tidak bisa angkat oleh bumi dan langit tidak bisa menaunginya (menurut hadits qudsi bahwa langit dan bumi tidak bisa memuat Allâh, yang bisa memuat Allâh hanya hati hamba Allâh)

لاَيَسَعَنِيْ اَرْضِيْ وَلاَ سَمَائِيْ وَلَكِنْ يَسَعَنِيْ قَلْبُ عَبْدِ التَّقِى (فيض القدر , ج 2 حديث 4969 )
Dunia adalah alam jasmani sementara hati adalah alam ruhani. Alam jasmani tidak bisa memuat alam ruhani sehingga dikatakan bumi tidak mampu mengangkat dan langit tidak bisa menaungi orang Sûfi.
d. Lebih mulia dibanding ungkapan bahasa akan tetapi barangsiapa yang menyicipinya maka dia menemukan rasanya.
82. Abû Qasim Al-Râzî, Tashawwuf adalah;
a. Keadaan jiwa yang tegak bersama dengan Allâh al-Haq
98 | Akhlak dan Tashawwuf
b. Tashawwuf dapat membuahkan tawaddhu„, meninggalkan memandang selain Allâh dan meninggalkan merasa bahagia dengan kefakiran (merasa lebih utama dari orang lain), melihat keutamaan orang-orang fakir, berubat kebaikan kepada seluruh makhluk baik mukmin dan kafir selama tidak merobohkan syari‟at dan masuk pada kemakruhan.
83. Abû Bakar al-Husaini al-Mukri, Tashawwuf adalah menjaga beberapa rahasia dan menjauhi hal-hal yang jelek.
84. Manshûr bin Muhammad al-Sajzî, Tashawwuf itu menyedikitkan makan, tidur, merendahkan nafsu, berusaha sekuat tenaga melaksanakan taat dan meninggalkan maksiat.
85. Husain bin al-Mutsannâ Tashawwuf adalah membersihkan hati dari segala getaran hati yang rusak, dan jiwa bisa merasakan adanya al-Washlu (diterima oleh Allâh).
86. Ruwaim al-Junaid, ketika ditanya apa itu Tashawwuf dan hakikatnya. Beliau menjawab, Tashawwuf adalah ambillah lahirnya jangan engkau bertanya tentang hakikinya sehigga engkau bisa tenggelam di dalamnya. Lalu Imam Ruwaim berkata, Sûfi adalah orang yang melaksanakan taat kepada Allâh tanpa ada yang mengetahuinya kecuali Allâh.
87. Basyar, Sûfi adalah orang yang dikhususkan oleh Allâh.
88. Abû Qâsim, Sûfi adalah orang yang bertambah ilmunya maka berkurang watak dasar kemanusiaannya, (Tahdzîb al-Asrâr fî Ushûl al-Tashawwuf, halaman: 11-22).
Selanjutnya, Sayyidina „Usmân bin „Affan berkata; Tashawwuf adalah mencari washîlah menuju keutamaan, (Hilyat al-Auliya‟ wa Thabaqât al-Ashfiya‟, juz 1 halaman: 100). Keterangan lain menyebutkan bahwa Tashawwuf adalah berakhlak dengan akhlak ketuhanan, (Mu‟jam al-Kalimât as-Shûfiyah, halaman: 22).
Berikut ini penjelasan beberapa „Ulama‟ tentang Tashawwuf yang terdapat di dalam kitab Hilyah;
1. Abû Yazîd al-Rabi„ bin Khutsaim berkata sesungguhnya Tashawwuf ialah memuliakan hati dan tidak menghiraukan unsur lahir/zhahir, (Hilyat al-Auliya‟ wa Thabaqât al-Ashfiya‟, juz 2, halaman: 5).
2. „Urwah bin Zubair, Tashawwuf adalah menampakkan anugerah dan menyimpan cobaan, (Hilyat al-Auliya‟ wa Thabaqât al-Ashfiya‟, juz 2, halaman: 70).
3. Sâlim bin Abdullah, Tashawwuf adalah menetapi khudhu„ (sifat tunduk) dan qunu„ (sifat rendah diri) serta tidak berkeluh kesah, (Hilyat al-Auliya‟ wa Thabaqât al-Ashfiya‟, juz 2, halaman: 70).
4. Abû al-„Aliyyah, Tashawwuf ialah ridha dengan bagian yang diterima dan dermawan dengan kenikmatan, (Hilyat al-Auliya‟ wa Thabaqât al-Ashfiya‟, juz 2, halaman: 112).
5. Muhammad bin Wâsi„,sesungguhnya Tashawwuf ialah khusyû„  (tunduk), khumûl (menyembunyikan amal yang baik dan menampakkan amal yang buruk), qunu„ (sifat rendah diri), dan dzubûl (sifat layu), (Hilyat al-Auliya‟ wa Thabaqât al-Ashfiya‟, juz 2, halaman: 238).
Menurut Imam Qusyairi terdapat ciri-ciri kepribadian dan perilaku orang Sûfi;
عَلاَمَةُ الصُّوْفِى اَلصَّادِقِ : اَنْ يَفْتَقِرَ بَعْدَ الْغِنٰى, وَيَذِلَّ بَعْدَ الْعِزِّ, وَيَخْفَى بَعْدَ الشُهْرَةِ , وَعَلاَمَةُ الصُّوْفِي اَلْكَاذِبِ : اَنْ يَسْتَغْنِيَ بِاالدُّنْيَا بَعْدَ الْفَقْرِ, وَيَعِزَ بَعْدَ الذِّلِّ, وَيَشْتَهِرَ بَعْدَ الْخُلَفَاءِ ( الرسلة القشيرية : ص 127 126 )
Berikut ciri-cirinya yang terbagi menjadi dua;
- Seorang Sûfi Shâdiq: merasa miskin setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemuliaan, dan menyamarkan dirinya setelah terkenal
- Seorang Sûfi Kâdzib: merasa kaya akan harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal yang mana sebelumnya dia tidak masyhur, (ar-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 126-127).
Sementara itu, maqâm orang Sûfi ada tiga, diantaranya;
1. Maqâm Islâm, kesempurnaan taqwâ dan istiqâmah
2. Maqâm Imân, kesempurnaan thuma„nînah dan yaqîn
3. Maqâm Ihsân, adalah tingkatan yang tertinggi. Yaitu maqâm dimana seorang hamba dapat ber-musyâhadah (melihat Allâh dengan mata hati) atau merasa selalu diawasi Allâh, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 84).
Dalam Jâmi‟ al-Ushûl fi al-Auliyâ‟ disebutkan bahwa Sûfi adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, serta tidak dikuasai oleh siapapun.
وَقِيْلَ : الَصُّوْفِى مَنْ لاَ يَمْلِكُ شَيْئً وَلاَ يَمْلِكُهُ شَيْئٌ
Dikatakan bahwa seorang Sûfi adalah orang yang tidak memiliki sesuatu, dan tidak pula dimiliki oleh apapun, (Jâmi‟ al-Ushûl fi al-Auliyâ‟, halaman: 329).
Kemuliaan dan keutamaan para Sûfi adalah bahwa mereka bisa mencapai Haqîqat Îmân dengan mewujudkan tiang atau rukun-rukun Îmân yang diantaranya adalah Îmân kepada Qadar, (baik dan buruknya, manis dan pahitnya) bagi mereka adalah sama dalam arti ridha, pasrah, kesempurnaan ma‟rifat dan murninya keyakinan baik pada waktu gembira maupun susah, waktu dalam kehinaan maupun kejayaan, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 69).
Fudhayl bin Iyad menceritakan kisah seorang Raja yang terkenal dengan nama Sultan Hârun al-Rasyîd yang sedang mendengarkan nasihat seorang „Ulama‟ Sûfi yang bernama Syaikh Raja„ bin Hayat yang mengatakan; “Wahai sultan jika anda ingin selamat dari siksa Allâh Swt. di akhirat, maka cintailah orang-orang muslim seperti anda mencintai diri sendiri, apa yang anda benci pada diri sendiri berlakukanlah pada diri mereka (jika sudah bisa) lalu matilah sesukamu. Aku mengatakan ini kepada anda karena aku sangat khawtir pada suatu hari anda terpleset dari jalan kebenaran, apakah ada orang mengatakan hal ini pada anda sebelumnya dengan landasan belas kasihan dan memintakan rahmat allah untuk anda?” Seketika itu, Sultan Hârun al-Rasyîd menangis sampai tak sadarkan diri. Setelah sadar, Sultan Hârun al-Rasyîd minta untuk dinasihati lagi. Kemudian Syaikh Raja„ bin Hayat berkata; “Wahai pimpinan orang-orang mu‟min, sesungguhnya paman nabi yang bernama abbas datang kepada nabi lalu bartanya tentang kepemimpinan”. Nabi Saw. bersabda;
أِنَّ الْاِمَارَةَ حَشْرَةٌ وَنَدَمَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ , فَأِنِ ا سْتَطَعْتَ أَنْ لاَ تَكُوْنَ أَمِيْرً فَافْعَلْ
 “Sesungguhnya menjadi pemimpin adalah kesedihan dan penyesalan pada hari kiyamat, jika engkau mampu untuk tidak jadi pemimpin maka lakukanlah”.
Mendengar nasihat ini Sultan Hârun al-Rasyîd menangis dengan keras lalu Sultan Hârun al-Rasyîd meminta nasihat lagi, syaikh raja‟ bin hayat berkata wahai orang yang wajahnya tampan anda akan ditanya oleh allah tentang keadaaan ini pada hari kiyamat, jika anda mampu untuk menjaga wajah tampan ini dari jilatan api neraka, maka hati-hatilah tiap pagi dan sore dalam hati anda ada tipu daya kepada salah satu rakyat anda karena Nabi Saw. bersabda;
مَنْ اَصْبَحَ لَهُمْ غَشًّا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
 “Barang siapa pada pagi harinya memiliki tipu daya kepada manusia, maka dia tidak akan mencium bau surga”.
Kemudian Sultan Hârun al-Rasyîd menangis, (Hilyat al-Auliya‟ wa Thabaqât al-Ashfiya‟, juz 6 halaman: 341).





*Sabilus Salikin: Ensiklopedi Tharîqah/Tashawwuf
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Official
Copyright © 2020. PP.ASHSHIDDIQIYAH SIMANDIANGIN - All Rights Reserved
Published by Ponpes Ashshiddiqiyah